Sabtu, 16 Agustus 2014

Humanistik


I.              PENDAHULUAN

Maslow yang tidak ingin disamakan dengan dua aliran psikologi sebelumnya, psikoanalisis dan behavioris, menyebut aliran barunya sebagai “mazhab ke-3”. Humanisme dan eksistensial, meskipun muncul ditempat yang berbeda, dengan bahasa dan gaya penjelasan yang berbeda, tentu dengan tokoh/pemikir yang berbeda ini, memiliki pandangan yang sama mengenai manusia. Humanisme dan eksistensial menolak pandangan-pandangan terdahulu yang menganggap manusia sebagai produk dorongan-dorongan tak sadar, pengondisian, dan fisiologi. Humanis dan eksistensialis menganggap manusia sebagai makhluk yang sadar yang memilih secara bebas tindakan-tindakannya karena pilihannay yang bebas itu maka setiap manusia berkembang sebagai seornag inidvidu yang unik.
Para tokoh/pendukung masing-masing aliran ini juga menolak cara dari mazhab terdahulu dalam melihat tingkah laku manusia. Mereka meyakini tentang adanya persepsi dari masing-masing orang dalam menentukan tingkah laku, sehingga sangat penting melihat tingkah laku itu berdasarkan segi pandang orang yang mengalaminya sendiri, karena tingkah lakunya ini juga disebabkan oleh pilihan sadarnya dan pilihannya itu dipengaruhi oelh persepsi pribadinya tentang situasi. Karena pandangan mereka ini, terkadang mereka disebut sebagai pendekatan “fenomenologi”. Namun meskipun demikian eksistensial tidak ingin disamakan dengan humanistik, mereka tetap memiliki perbedaan dalam sudut pandangnya.
Humanisme menegaskan adanya keseluruhan kapasitas martabat dan nilai kemanusiaan untuk menyatakan diri (self-realization), bahwa individu dimotivasikan oleh pertumbuahan positif ke arah keparipurnaan, kesempurnaan, keunikan pribadi, dan kepenuhan diri sendiri. Humanisme menentang premisme dan keputusasaan pandangan psikoanalitik dan konsep kehidupan “robot” pandangan behaviorisme. Humanisme yakin bahwa manusia memiliki di dalam dirinya potensi untuk berkembang sehat dan kreatif, dan jika orang mau menerima tanggungjawab untuk hidupnya sendiri, dia akan menyadari potensinya, mengatasi pengaruh kuat dari pendidikan orang tua, sekolah, dan tekanan sosial lainnya (Alwisol, 2008).
Maslow sebagai salah satu penggagas teori-teori humanistik merasa bahwa  konsep-konsep psikologi terdahulu baik dari kaum Freudian maupun Behavioristik, belum mampu menjelaskan psikologis manusia yang sebenarnya. Maslow tidak dapat sependapat dengan ilmauan psikologi terdahulu yang mengungkap psikologis manusia hanya berdasakan fisik dan tekhnik saja, tanpa melihat bagaiman perilaku tersebut terbentuk dan ada. Maslow tidak setuju jika manusia di jadikan sebagai obejk. Maslow mengemukakan keyakinannya bahwa kita dapat belajar jauh lebih banyak tentang tingkah laku manusia dengan mempertimbangkan segi-segi subjektif maupun seegi-segi objektifnya. Buktinya, menurut pengalamannya, pendekatan subjektif tersebut kerap kali justru berhasil; sementara jika hal-hal yang subjektif itu diabaikan, banyak tingkah laku manusia menjadi kehilangan maknanya. Namun, bukan berarti Maslow menolak pendekatan ilmiah, Ia hanya menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh (Goble, 2006).
Aliran Psikologi Humanistik sebagai mazhab ketiga, merupakan aliran yang pertama kali mengembangkan teori-teori psikologis yang dimulai dari potensi asli yang dimiliki oleh manusia. Berbeda dengan Psikoanalisis yang lebih menggali teorinya dari klien-kliennya yang mengalami gangguan, atau Behavioris yang mendasarkan teorinya dari penelitian-penelitian yang menggeneralisir perilaku binatang sama dengan proses terbentuknya perilaku pada manusia. Humanistik tidak menolak ataupun membantah teori-teori sebelumnnya, mereka hanya hadir untuk lebih memperkaya keilmuan yang telah ada. Maslow beranggapan bahwa, bahwa pendekatan ilmiah yang mekanistik milik behavioris tidaklah keliru, hanya terlalu picik dan sempit untik dijadikan suatu filsafat umum atau menyeluruh. Seadangkan untuk Freud, Ia beranggapan bahwa, “Freud baru memberikan kepada kita setengah psikologi yang sakit, maka kita harus melengkapinya dengan tengahan lainnya yang sehat” (Goble, 2006).
Eksistensailis sendiri muncul dan terinspirasi dari aliran filsafat baru yaitu “eksistensial”. Dua pemuka eksistensialis sendiri, Binswanger dan Boss pernah belajar langsung mengenai cara berpikir eksistensial dari seorang filusuf ahli eksistensial, yaitu Heddeger. Pemikiran psikologi eksistensial yang dikembangkan di Eropa sangat mudah menyebar dan diterima oleh psikolog Amerika, yang merasa tidak puas dengan pandangan-pandangan terdahulu.
Hal paling mendasar dari pemikiran eksistensial adalah mereka menolak konsep kasualitas, yang menganggap adanya hubungan sebab akibat dalam keberadaan manuasia. Paling hanya dapat diaktakan ada rangkaian tingkah laku, tetapi tidak bisa kasualitas diturunkan penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebgai orang dewasa. Suatu peristiwa pada masa kanak-kanak tidak dapat menjadi penyabab munculnya tingkahlaku pada masa dewasa. Dengan kata lain, eksistensial menolak positivisme, determinisme, dan materialisme.
Jika humanistik dan eksistensialis sama-sama memandang manusi yang unik yang secara sadar menentuka sendiri perilakunya, maka mereka berbeda dalam cara mereka memandang teori terdahulu. Humanisme masih mau menerima namun eksistensial sama sekali tidak sependapat dengan teori-teori yang telah ada sebelumnya. Dan yang menjadikan eksistensial berbeda dengan aliran-aliran lain di psikologi, adalah secara terang-terangan mereka menjelaskan mengenai keterikatan mereka pada filsafat, padahal psikologi merupakan keilmuan yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh filsafat itu sendiri.


II.           CARA HUMANISTIK DAN EKSISTENSIAL MENYIKAPI ABNORMALITA MANUSIA

A.  Humanistik
1.    Abraham Maslow
a.    Persepsi yang Salah Terhadap Dunia
Maslow banyak membahas tentang individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya. Orang yang sehat mental menurut maslo adalah individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya. Sebaliknya, orang yang mengalami gangguan mental tidak hanya terganggu secara emosional namun pemiikirannya serba keliru. Maslow menganggap bahwa neurosis, psikosis hambatan pertumbuhan dan sejenisnya, merupakan penyakit-penyakit kognitif yang juga mencemari fungsi pengamtan, belajar, ingatan, perhatian, serta pikiran (Goble, 2010).
Orang yang membiarkan hasrat-hasratnya mencemari persepsinya berartu merongrong kesehatan psikologisnhya sendiri. Bagi orang yang benar-benar matang realitas semesta tampak seperti apa adanya, tidak seperti yang diharapkannya. Neurosis juga dapat diartika sebagai ketidakmampuan orang memilih secara bijaksana; artinya, memilih sesuai kebutuhan-kebutuhan psikologisnya yang sejati. Orang pun dapt dibedakan menjadi pemilih yang baik dan pemilih yang jelek.
Maslow yang juga banyak berbicara mengenai hirarki kebutuhan, meyakini jika orang yang mengalami gangguan mental merupakan akibat dari adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini tidak lain dikarenakan oleh kesalahan manusia sendiri, yang telah mengabaikan bakat-bakatnya untuk mengaktualisasikan diri. Orang-orang yang gagal mengembangkan bakat-bakat mereka, yang menjalani hidup gersang tanpa gairah, yang tak pernah mampu mengembangkan cara-cara yang jitu untuk berhubungan dengan orang-orang lain, dengan setengah sadar tahu bahwa semua itu adalah akibat kesalahan mereka sendiri. Dari sinilah “neurosis” berkembang (Goble, 2010).
Intinya adalah jika individu tidak dapat memenuhi kebutuhannya, maka kemungkinan neurosis akan berkembang. Namun pemenuhan kebutuhan ini juga harus bijaksana, kita harus betul-betul tau aoa yang sebenarnya kita buthkan, kemudian memenuhinya jika kita ingin benar-benar sehat. Selain itu individu harus mampu mengontrol kebutuhannya, karena ketika seseorang diperdaya oleh kebutuhan-kebuthan yang belum tentu benar-benar dibuthkan, maka persepsinya terhadap realitas akan terganggu, dan dapat menngakibatkan ketidakmampuan beradaptasi secara baik.

2.    Carl Rogers
a.    Self yang Terganggu
Rogers mengungkapkan tentang psikopatologi paradigma humanistik, keyakinan utamanya tentang perilaku abnormal bahwa perilaku ini merupakan hasil perkembangan konsep tentang self yang terganggu (Nevid. Dkk, 2003).
Selain itu konsep abnormalitas disebabkan karena maladjusmen, hal ini dikarenakan perasaan yang mereka ekspresikan dan tidak sadar dengan pernyataan yang bertentangan dengan selfnya (Alwisol, 2009). Hal tersebut bisa dikelompokkan dalam indikator organisme yang tidak sehat dan sehat menurut Rogers.
Psikopatologi menurut Rogers (Alwisol, 2009) merupakan:
a)   Tak salingsuai, ketika pengalaman sangat tidak konsisten dengan struktur self atau pengalaman sering timbul, tingakat kecemasan yang ada akan merusak rutinitas dan orang menjadi neurotik. Selain itu jika self tidak mampu mempertahankan diri dari pengalaman yang mengancam ini akan menimbulakn disorganisasi kepribadian sehingga akan menjadi psikotik.
b)   Kecemasan dan Ancaman, merupakan ketidaknyamanan atau ketegangan yang sebabnya tidak diketahui. Kecemasan dan ancaman menjadi indikasi inkongruen, namun pada tingkat tertentu kecemasan dan ancaman itu dibutuhkan untuk mengmbangkan diri memperoleh jiwa yang sehat.
c)   Tingkah Laku bertahan (Defensiveness), Rogers mengklasifikasikan dua tingkah laku bertahan, yakni distorsi (pengalaman diinterpretasi secara salah dalam rangka menyesuaikan dengan aspek yang ada di dalam konsep self) dan denial (menolak mempelajari suatu pengalaman, sehingga orang terbebas dari anacaman inkongruen diri).
d)  Disorganisasi, merupakan tingkah laku yang diakibatkan dari kehendak-kehendak antara self dengan pengalaman. Disorganisasi kepribadian dapat disembuhkan dengan memberikan terapi yang memberinya penerimaan positif tanpa syarat.
b.    Person-Centerd Therapy
Rogers memiliki pengaruh besar dalam praktek psikotrapi. Dalam terapi Rogers, terapis cendrung bersifat sportif dan tidak mengarahakan. Terapis beremapti terhadap klien dan memberikan penghargaan yang tulus. Selama berkecimpung di bidang konseling anak dan psikologi klinis, rogers menyadari bahwa klienlah yang paling memahami letak permasalahan dan aarah terapi seharusnya berlangsung. Rogers juga memadang orang sebagai sebuah proses perubahan sekumpulan potensi.
Rogers juga berpendapat bahwa ada dua kondisi utama yang diperlukan agar tercipta perubahan kepribadian dalam psikotrapis :
1)   Terapis harus bias memperlihatkan perhatian yang tulus terhadap klien.
2)   Terapis memiliki pemahaman yang empatis dalam arti terapis harus bisa merasakan ketegangan dan perasaan yang dirasaankan kliennya.
Yang menarik dari metode Rogers ialah selain teknik dan prosedurnya itu sendiri ada juga keberanian Rogers untuk merekam proses wawancara dalam psikotrapinya untuk kemudian membahasnya bersama teman-teman sejawatnya atau mahasiswanya. Di masa lalu keterbukaan semacam ini masih langka dan langkah-langkah Rogers dianggap sebagai printis untuk kemajuan pengembangan metode psikotrapi.
Psikoterapi yang dikemukakan dan dikembangkannya ini menjadi popular karena:
1)   Secara historis lebih terikat kepada psikologi dari pada kedokteran
2)   Mudah dipelajari
3)   Untuk mempergunakannya dibutuhkan sedikit atau tanpa pengetahuan mengenai diagnosis dan dinamika kepribadian
4)   Lamanya perawatan lebih singkat jika dibandingkan misalnya dengan terapi secara psikoanalistis.
Aplikasi metode psikotrapi rogers dalam konseling
Dalam dunia psikologi Rogers selalu dihubungkan dengan metode psikoterapi yang dikemukakan dan dikembangkannya. Dasar dari teknik terapinya tersebut Rogers menilai bahawa Manusia mampu memulai sendiri arah perkembangannya dan menciptakan  kesehatan dan menyesuaikannya.
Dengan demikian, konselor dapat membantu klien untuk mengemukakan pengertiannya dan rencana hidupnya. Untuk memungkinkan pemahaman ini konselor diharapkan bersifat dan bersikap:


1)   Menerima (Acceptance)
Sikap terapis yang ditujukan agar klien dapat melihat dan mengembangkan diri apa adanya.
2)   Kehangatan (Warmth)
Ditujukan   agar  klien   merasa  aman   dan memiliki penilaian yang lebih positif tentang dirinya.
3)   Tampil apa  adanya (Genuine)
Kewajaran yang perlu ditampilkan oleh terapis agar klien memiliki sikap positif.
4)   Empati (Emphaty)
Menempatkan diri dalam kerangka acuan batiniah (internal frame  of reference),  klien   akan memberikan manfaat besar dalam memahami diri dan problematikanya.
5)   Penerimaan tanpa  syarat (Unconditional positive  regard)
Sikap penghargaan tanpa tuntutan yang ditunjukkan terapis pada klien, betapapun  negatif perilaku atau sifat klien, yang kemudian sangat bermanfaat dalam pemecahan masalah.
6)   Transparansi (Transparancy)
Penampilan  terapis  yang transparan atau tanpa topeng pada   saat  terapi   berlangsung    maupun  dalam kehidupan keseharian merupakan   hal yang penting  bagi klien untuk mempercayai dan menimbulkan rasa aman terhadap segala sesuatu yang diutarakan.
7)   Kongruensi (Congruence)
Konselor   dan  klien  berada pada hubungan yang sejajar dalam   relasi  terapeutik  yang   sehat. Terapis  bukanlah  orang  yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari kliennya.
Dengan demikian, akan dapat dilihat perubahan yang terjadi dalam proses terapi antara lain :
1)   Klien akan mengekspresikan pengalaman dan perasaannya tentang kehidupan, dan problem yang dihadapi.
2)   Klien akan berkembang menjadi orang yang dapat menilai secara tepat makna perasaannya.
3)   Klien mulai merasakan self concept antara dirinya dan pengalaman mereka.
4)   Klien sadar penuh akan perasaan yang mengganggu.
5)   Klien mampu mengenal konsep diri dengan terapi yang tidak mengancam.
6)   Ketika terapi dilanjutkan, konsep dirinya menjadi congruence.
7)   Mereka mengembangkan kemampuan dengan pengalaman yang dibentuk olehunconditional positive regard.
8)   Mereka akan mengevaluasi pengalaman-pengalamannya sehingga mampu berelasi sosial dengan baik.
9)   Mereka menjadi positif dalam menghargai diri sendiri.

B.  Eksistensial
1.    Ludwig Binswanger dan Medard Boss
Pada awal tahun 1920-an, Binswanger menjadi salah satu pelopor pertama dalam menerapkan fenomenologi pada psikiatri. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi seorang analis eksistensial. Binswanger mendefinisikan analisis eksistensial sebagai analisis fenomenologis tnetang eksistensi manusia yang aktual. Tujuannya ialah rekonstruksi dunia pengalaman batin. Sedangkan Boss yang dulunya merupakan pengikut psikologi analisis (yang akhirnya banyak mempengaruhi tekhnik terapinya), berpindah menjadi seorang analis eksistensial setelah perjalanannya dari India dan bertemu dengan filsafat India. Kurang lebih keduanya sama-sama menggali filsafat eksistensial dari orang yang sama, yaitu Martin Heidegger (Hall & Lindzey, 2003).
a.    Ketidak-Eksistensian secara Autentik
Binswanger dan Boss mendasarkan teori mereka pada eksistensi manusia. Sehingga mereka mengangganggap psikolpatologis disebabkan oleh segala hal yang menghambat manusia untuk mencapai eksistensinya secara autentik. Mereka menjelaskan  mengenai keberadaan manusia ada-di-dunia (dassain),  Dasain berarti “ada” (sein) “di sana” (da), maksudnya adalah keterbuakaan dunia yang menerangi dan memahami – suatu keadaan ada di dunia di mana seluruh eksistensi individu yang ada dan harus ada dapat muncul dan menjadi hadir dan hadir (Hall & Lindzey, 2003). Eksistensi yang diharapkan oleh mereka tidak sekedar keberadaan kita di dunia, tetapi secara autentik kita ada sebagaimana mestinya kita ada, selain itu tidak adanya keterbatasan serta kehampaan yang dirasakan berdasarkan 3 wilayah yang Binswenger jelaskan melalui contoh kasus seorang kliennya yang melakukan percobaan bunuh diri, bernama Ellen West.
Umwelt (lingkungan biologis), yaitu keterbatasan dan ketertindasannya, yang tergambar dari keinginannya untuk bebas, serasa kekurangan nafas.
Mitwelt (lingkungan manusia), keterbatasan berupa perasaan ditundukkan, dikalahkan, dilumpuhkan, dan dikejar-kejar, kehampaan seperti ketiadaan rasa damai, siakp masa bodoh, sikap taat tanpa kegembiraan, keterasingan, kesepian, hambatan-hambatan seperti  merasa terbelenggu dan sesak nafas.
Eigenwelt (lingkungan diri sendiri), keterbatasan dalam sifat pengecut, pemburu nikmat, halangan-halangan seperti pengucilan diri, kehampaan berupa perasaan dikuasai dan perasaan kesepian serta keputusasaan.
Selain itu ada batas yang perlu diperhatikan oleh manusia ketika ingin mencapai eksistensi dirinya adalah dasar eksistensi ke mana orang-orang akan “dilemparkan”. Kondisi “ketrlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan dirinya dalam dunia yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya. Manusai harus hidup sebagaimana adanya dia, eksistensi wanita berbeda dengan eksistensi laki-laki, maka laki-laki yang eksis secara autentik dan sehat menurut eksistensial adalah laki-laki yang hidup sebagamana mestinya laki-laki. “Keterlamparan” ini adalah nasib yang sudah ditentukan oleh hidup, dan “Semakin orang berkeras kepala menentang keterlemparannya ke dalam eksistensinya...maka semakin kuat pula pengaruh keterlemparan itu” (Binswanger, 1958, dalam Hall & Lindzey, 2003). Hal ini meyebabkan kelemahan eksistensial, yang berarti manusia tidak eksis secara otonom dalam dunianya, dengan kata lain tidak menerima eksistensinya sendiri.
Bisa saja diartikan bahwa, meskipun PPDGJ telah mengeluarkan kaum gay dan banci dari golongan abnormal, kaum eksistensial terutama Binswanger dan Boss masih menganggap mereka abnormal atau mengalami patologis, karena mereka eksis tidak sebagaimana mestinya mereke mencapai eksistensinya, dengan kata lain tidak eksis secara autentik, karena menyalahi nasibnya.
b.    Analisis Eksistensial Sebagai Metode Assasemen
Binswanger dan Boss mengakui jika mereka pernah menjadi murid Freudian dan Jungian, terutama mereka menjadi praktisi psikoterapi yang mengandalkan tekhnik-tekhnik dari psikoanalisis. Contohnya Boss yang menjadikan tekhnik analisis mimpi sebagai tekhnik terapi andalannya. Namun, yang mebedakan tekhnik terpai mereka dengan Psikoanalisis adalah cara mereka memahami kondisi pasiennya, cara mereka memaknai setiap simbol dari pasiennya berbeda dengan cara Freud dan Jung. Mereka cenderung melakukan observasi dan wawancara terlebih dahulu secara fenomenologis terhadap pasiennya, untuk mengungkap apa yang terjadi dengan eksistensi pasiennya tersebut.
Para analasis eksistensial menyadari kompleksitas manusia yang mereka hadapi di ruang-ruang praktek mereka. Mereka menyadari bahwa manusia bukan hanya merupakan makhluk biologis atau fisik, melainkan juga sebagai makhluk yang unik dan mempunyai kesadaran. Dengan perkataan lain, manusia tidak lain adalah tubuh (organisme) yang berkesadaran. Oleh sebab itu, mereka beranggapan bahwa pendekatan analisis eksistensial tentunya diperlukan, karena menwarkan kejernihan analisis atas pasien-pasien mereka. Gejala manusia dan pengalaman-pengalamannya tentu saja tidak bisa dikuantitafikasikan dan digeneralisasi begitu saja. Perlu pengungkapan yang lebih spesifik. Analisis eksistensial dianggap mampu melakukan tugas itu.
Dalam analisis eksistensial yang dilakukan Binswanger sebagai metode baru yang berbeda dari metode-metode yang ada sebelumnya, terlihat dalam kasus yang ditanganinya yaitu kasus “Ellen West” yang merupakan salah seorang pasiennnya. Binswanger mengadakan analisis fenomenologis mengenai tingkah lakunya dan menggunakan penemuan-penemuan tersebut untuk merumuskan eksistensi atau cara-cara ada-di-dunia pasien tersebut. Ia menyelidiki arsip-arsip di Sanotarium dan memilih kasus seorang gadis muda, yang pernah berusaha untuk melakukan bunuh diri. Kasus ini menarik karena selain buku harian, catatan-catatan pribadi dan puisi-puisinya yang penuh pesona, juga karena sebelum dirawat di sanotarium, ia telah dirawat lebih dari dua periode oleh para psikoanalis dan selama di sanitarium ia telah menerima perawatan dari Bleuler dan Kraepelin. Dalam analisis eksistensial (yang tekanannya lebih pada terapi), Binswanger pertama-tama menganalisis asumsi-asumsi yang mendasari hakekat manusia kemudian ia berhasil sampai pada pemahaman mengenai struktur tempat diletakkannya segenap system terapeutik. (Abidin, 2002)
Medard Boss menggunakan analisis mimpi dalam terapinya terhadap seorang pasien yang menderita obsesional-complusive. Pasien ini menderita kompulsi-kompulsi untuk mencuci tangan dan membersihkan, ia sering bermimpi tentang menara-menara gereja. Pasien ini sebelumnya telah menjalani analisa Freudian dan menginterpretasikan isi mimpi tersebut sebagai simbol-simbol phalik serta menjalani analisa Jungian yang menghubungkannya dengan simbol-simbol arketif religius. Dalam dengan Boss sang pasien menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang datang berulang-ulang seperti ia mendekati sebuah pintu kamar mandi yang selalu terkunci. Boss menunjukkan dalam pembahasannya tenang kasus itu bahwa pasien merasa bersalah, karena telah mengunci beberapa potensi yang sangat penting dalam dirinya. Ia mengunci baik kemungkinan-kemungkinan pengalaman badaniahnya maupun spiritualnya atau aspek “dorongannya” dan aspek “tuhannya”, semua itu dilakukannya untk melarikan diri dari semua masalah yang dihadapinya. Menurutnya pasien merasa bersalah bukan semata-mata bahwa ia mempunyai rasa bersalah. Pasien tidak menerima dan tidak memasukkan kedua aspek tersebut ke dalam eksistesinya, maka ia merasa bersalah dan berhutang pada dirinya. Pemahaman mengenai rasa bersalah tidak ada hubungannya dengan sikap menilai (“judgmental attitude”), yang perlu dilakukan hanyalah memperhatikan kehidupan dan pengalaman pasien secara sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat.
Inti terapi eksistensial adalah hubungan antara terapi dengan kliennya. Hubungan ini disebut pertemuan. Pertemuan adalah kehadiran asal satu Dasein kehadapan Dasein yang lain, yakni sebuah “ketersingkapan” satu Dasein terhadap yang lainnya. Berbeda dengan terapi-terapi formal, seperti terapi gaya Freud, atau terapi-terapi yang “teknis”, seperti terapi gaya behavioris, para terapis eksistensial sepertinya ingin terlibat intim dengan Anda. Saling beri dan saling terima adalah bagian paling alami dari pertemuan, bukan untuk saling menghakimi dan memojokkan. (Boeree, 2004)


2.    Viktor Frankl
Viktor Frankl adalah psikolog yang mengembangkan ilmunya melalui kehidupan dibalik kengerian jeruji-jeruji besi dan penyiksaan, penganiayaan, kelaparan dan kemelaratan manusia, di kamp pengasingan. Belia adalah satu dari sedikit orang yang tetap hidup dan bebas dari pembasmian. Di balik kengerian-demi kengerian yang Ia rasakan di kamp, Ia berusaha menemukan makna hidup yang membuatnya tetap bertahan hidup. Kehilangan teman-teman, sanak-saudaranya, serta naskah berisi karya-karyanya yang amat penting, tidak menutup hatinya untuk menemukan makna dan mengajarkan kepada, justru kondisi ini membongkar seluruh kehidupannya sebelumnya (Schultz, 2010).
a.    Nogenic Neurosis
Frankl banyak berbicara mengenai “makna/arti”.  Kita memiliki kebutuhan terus-menerus terhadap arti dan arti kehidupan, namun bukan diri kita melainkan suatu arti untuk memberi suatu maksud bagi eksistensi kita. Semakin kita mampu mengatasi diri kita, memberi diri kita suatu tujuan atau kepada seseorang, semakin kita menjadi manusia sepenuhnya (Schultz, 2010). Dengan kata lain, makna akan membantu kita untuk mencapai eksistensi kita, tidak hanya itu keberadaan makna dalam diri kita menunjukkan eksistensi kita.
Kekurangan arti dalam kehidupan, bagi Frankl, merupakan suatu neurosis; dia menyebut kondisi ini nogenic neurosis. Inilah suatu kondisi yang bercirikan tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan, dan hampa. Frankl menulis tentang kawan-kawan setahanannya, “Celakalah dia yang tidak lagi melihat arti dalam kehidupannya, tidak lagi melihat tujuan, tidak lagi melihat maksud, dan karena itu tidak ada sesuatu yang dibawa serta. Dia segera kehilangan”. Karena tidak merasa kehidupan yang penuh dan gairah, maka orang semacam ini berada dalam kekosongan eksistensial (existensial vacuum), suatu kondisi yang menurut keyakinan Frankl adalah lumrah dalam zaman kita yang modern (Schultz, 2010). Neurosis noogenik tidak muncul dari arahan konflik antara id-ego-super ego, konflik instingtif, trauma psikis, dan berbagai kompleks psikis lainnya, akan tetapi muncul dari problematika spiritual. Neorosis noogenik tidak mengakar pada dimensi psikis manusia, melainkan bersumber pada dimensi spiritual, dengan demikian neorosis ini tidak bersifat psikogen, tetapi spiritual/noogenik. Frustrasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang menyebabkan terjadinya neurosis jenis ini.
Frustrasi eksistensial sering ditemukan dalam gejala neurosis yang mana pada gejala ini logoterapi menandainya dengan istilah ”neurosis noogenik” yang berbeda dengan “ neurosis psikogenik”. Istilah ini merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan sisi spiritual manusia, yang tidak memiliki konotasi utama pada agama, namun kembali secara khusus pada eksistensi manusia. Frustrasi eksistensial muncul ketika dorongan untuk hidup bermakna mengalami hambatan. Gejala-gejala dalam frustrasi ekstensial tidak terwujud secara nyata, karena pada umumnya bersifat laten dan terslubung (masked). Perilaku yang manandai frustasi eksistensial biasanya terungkap dalam berbagai usaha untuk memperoleh kompensasi besar melalui penyaluran hasrat untuk berkuasa (the will to power) atau bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure).
Kahampaan eksistensial biasanya muncul dalam perilaku yang menunjukkan perasaan serba hampa, gersang, dan kebosanan yang berlebihan. Menurut Frankl , faktor yang menyebabkan meluasnya kehampaan eksistensial adalah dianutnya ideologi-ideologi tentang manusia bercorak reduksioistik, pandeterminisme, serta teori-teori homostatis. Wawasan tersebut menganggap eksistensi manusia sebagai system yang tertutup atau memandang manusia dari sudut pandang kemanusiaan yang sub human, dan dengan demikian mengembangkan berbagai model manusia yang berpola rat modelmachine model, computer model, dan sebagainya. Wawasan ini mengingkari karakteristik khas manusia, seperti : kemampuan mentransendensikan diri, kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan dan diri sendiri, kebebasan berkehendak, rasa tanggung jawab, dan spiritualitas.
b.    Logotherapy
Logoterapi berasal dari kata logos yang telah didopsi dari bahasa Yunani yang berarti “makna” (meaning) dan kata “ruhani” (spirituality). Logoterapi ditopang oleh filsafat hidup dan insight mengenai manusia yan mengaku adanya dimensi spiritual, selain dimensi somatic, dimensi psikologis, dan dimensi social pada eksitensi manusia, serta menekankan pada makna hidup dan kehendak untuk hidup bermakna sebagai potensi manusia.
Logoterapi merupakan sebuah tekhnik terapi yang menkankan pada bagaiman cara terapis membantu klien dalam menemukan arti/makna dalam kehidupannya. Logoterapi berdiri di atas tiga tiang: kebebasan kemauan (the freedom to will), kemauan akan arti (the will to meaning), dan arti kehidupan (the meaning of life) (Schultz, 2010).
Mengenai the will to meaning, menurut Frankl merupakan motivasi utama yang terdapat pada manusia untuk mencari, menemukan, memenuhi tujuan dan arti hidup. Dalam hal ini Frankl mengkritik Sigmund Freud (the will to pleasure) dan Alfred Adler (will to power) yang masing-masing menganggap tujuan utama dari motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan (pleasure) dan kekuasaan (power). Yang mana Frankl memberi catatan bahwa kesenangan bukanlah semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan “akibat sampingan” (by product) dari sebuah tujuan itu sendiri. Begitu juga dengan sarana untuk mencapai tujuan, bukan mencapai tujuan itu sendiri. Karena pada dasarnya pleasure dan power sebenarnya sudah tercakup dalam the will to meaning (kekuasaan merupakan sarana untuk mencapai makna hidup dan kesenagan merupakan efek samping yang dihasilkan dari terpenuhinya makna hidup tersebut).
1)   Tujuan Terapi
Pertama, terapi harus meperlebar dan memperluas medan visual dari pasien sehingga seluruh spektrum makna dan nilai-nilai disadarri dan kelihatan olehnya. Dengan demikian, usaha pasien untuk berpusat pada dirinya sendiri dipecahkan karena ia dikonfrontasikan dengan dan diarahkan kepada makan hidupnya. Pemenuhan ini sendiri hanya bisa tercapai sejauh manusia telah memenuhi makna konkret dari keberadaan pribadinya.
Terapis juga membantu pengalaman individual yang nyata dari pasien sehingga ia dapat mengikuti potensi-potensi dan melampaui keadaannya yang tidak wajar (tercapainya trensendensi diri).
Akhirnya, terapis harus membantu klienmenghilangkan kecemasan dan neurosis kompulsif eksesif. Terpais harus mengingat bahwa logoterapi bukan treatmen simtomik terhadap neurosis, melainkan menangani sikap pasien terhadap simtom-simtom (Semiun, 2010).
Cara terapis untuk membantu klien menemukan makna hidupnya: 
1)   Menunjukkan segala sesuatu yang secara potensial bermakna, namun untuk menentukan apa yang dianggap bermakna, hal itu kembali  kepada individu itu sendiri. 
2)   Menunjukkan sumber-sember makna hidup 
3)   Membantu agar individu lebih menyadari tanggungjawab pribadi dalam memenuhi tujuan yang harus dicapai serta kewajiban yang harus ditunaikan.
3.    Rollo May

4.    Frederich S. (Frits) Perls
a.    Tidak Disini dan Sekarang
Pandangan Gestalt tentang manusia berakar pada filsafat eksistensial dan fenomenologi. Pandangan ini menekankan konsep-konsep seperti perluasan kesadaran penerimaan tanggung jawab pribadi, kesatuan pribadi dan mengalami cara-cara yang menghambat kesadaran. Bagi Perls, tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Karena masa lampau telah pergi dan masa depan belum datang, maka saat sekaranglah yang penting (Amarfaruq,2011). Menurut perls, jika individu-individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka menglami kecemasan. Dalam memikirkan masa depan, maka mereka boleh jadi mengalami” tahap yang menakutkan”, yakni mereka dirasuki oleh “pengharapan-pengharapan katastrofik atas berbagai hal buruk yang akan terjadi atau oleh pengharapan-pengharapan katastrofik atas berbagai hal buruk yang akan terjadi atau oleh pengharapan-pengaharapan anstrofil mengenai berbagai hal yang menakjubkan yang akan timbul”.
Mereka berusaha menutup kesenjangan antara saat sekarang dan hari kemudian dengan resolusi- resolusi , rencana-rencana, dan visi-visi alih-alih hidup pada saat sekarang. Selain itu, menurut perls, orang-orangyang mersa terpaku itu disebabkan mereka menyimpang pengharapan-pengharapan katastrofik. Mereka membayangkan bahwa sesuatu yang mengerikan akan timbul. Fantasi-fantasi katastrofik menghambat mereka menjalani hidup secara penuh dan akibat ketakutan- ketakutan yang tidak masuk akal, mereka menolak mengambil resiko yang diperlukan untuk menjadi lebih matang. Hal tersebut yang menjadikan seseorang dikatakan mengalami gangguan neurosis yaitu orang yang masih terpaku dengan masa lampau dan seseorang yang terpaku pada masa depan yang belum terjadi. Seseorang terpaku dengan masa lampau tidak menyeleseikan urusan yang ada pada masa lalunya. Urusan yang tidak selesai menganggu indivisu dan mengejawantahkan dirinya dalam tingkah laku sekarang.
Perasaan-persaaan yang tak diketahui dulu menghasilkan sisa-sisa emosi yang tak perlu, yang mengcaukan kesadaran yang terpusat pada saat sekarang. Menurut perls, rasa sesal atau dendam paling sering menjadi sumber dan menjadi bentuk urusan tak selesai yang paling buruk. Dalam pandngan perls, rasa sesal menjadikan individu terpaku, yakni dia tidak bisa mendekati atau terlibat dalam komunikasi yang otentik sampai dia mengungkapkan rasa sesalnya itu. Rasa sesal yang tidak terungkap itu acap kali berubah menjadi suatu perasaan berdosa (Corey,2003). Manusia pada dasarnya baik dan efektif, namun ketika manusia tersebut kehilangan kesadaran atas kebutuhan dan hasratnya mereka akan menglami pnyimpangan dalam kehidupan atau dengan kata lain akan menglami gangguan neurosis (Davidson, 2004).
b.    Terapi Gestalt
1)   Tujuan Terapi         
Terapi gestal memiliki sasaran penting yang berbeda, sasaran dasarnya adalah menantang klien agar pindah dari “didukung oleh lingkungan” kepada “didukung oleh dirinya sendiri” Menurut perls, sasaran terapi adalah menjadikan pasien tidak bergantung pada orang lain, menjadikan pasien menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal. Selain itu sasaran yang pada terapi ini adalah pencapian kesadaran yang ada pada dirinya. Lebih banyak daripada yang dikiranya(Corey, 2003). Tujuan terapi selanjutnya adalah membantu klien menemukan pusat pada dirinya dan membantu pasien memaham serta menerima kebutuhan, hasrat, dan ketakutan mereka dan meningkatkan kesadaran atas hambatan dari dirinya sendiri untuk mencapai tujuan dan memuaskan kebutuhan (Davidson,2004)
2)   Fungsi dan Peran Terapis
Terapi Gestalt difokuskan pada persaan-perasaan klien, kesdaran atas saat sekarang, pesan-pesan tubuh dan penghambat-penghambat kesadaran. Terapis menghindari intelektualisasi abstrak. Diagnosis, penafsiran dan ucapan yang berlebiha. Mereka menyatakan bahwa penafsiran-penafsiran dan diagnosis-diagnosis yang cerdik tidak diperlukan. Yang penting adalah menciptakan iklim dimana klien membangkitkan proses-proses perkembangannya sendiri serta menjadi lebih terfokus pada pengubahan kesadarannya dari waktu kewaktu.Dalam terapi sendiri antara klien dan terpis memiliki keterlibatan, yang berubah bukan saja klien melainkan juga terapis(Corey, 2003).
Tugas terapis adalah membantu klien dalam melaksankan peralihan dari dukungan eksternal kepada dukungan internal dengan menentukan letak jalan buntu. Jalan buntu adalah titik tempat individu menghindari mengalami perasaan-persaan yang mengancam mereka karena dia merasa tidak nyaman. Jalan buntu juga merupakan penolakna terhadap langkah menghadapi dirinya sendiri dan terhadap perubahan. Tugas terapis juga membantu klien untuk menembus jalan buntu sehingga pertumbuhan bisa terjadi. Tugas terapis yang kemudian adalah menyajikan situasi yang menunjang pertumbuhan dengan jalan ynag mengonfrontasikan klien pada titik dia menghadapi suatu putusan apakah akan atau tidak tidak akan mengembangkan potensi-potensinya. Satu fungsi yang penting dari terapis gestalt adalah memberikan perhatian pada bahasa tubuh kliennya. Isyarat-isyarat nonverbal dari klien menghasilkan informasi yang kaya bagi terpis, sebab isyarat-isyarat itu sering “mengkhianati” perasaan-perasaan klien, yang klien sendiri tidak menyadarinya (Corey, 2003). 
3)   Penerapan Terapis
Ada sejumlah permainan yang bisa dilakukan dalam melakukan terapi gestalt yang mencangkup:
a)    Permainan-permainan dialog
Terapi gestalt menaruh perhatian yang besar pada pemisahan dalam fungsi kepribadian. Yang paling utama adalah pemisahan antara : “top dog” dan “underdog”. Teknik kursi kosong adalah suatu cara untuk mengajak klien agar mengeksternalisasi introyeksinya. Dalam teknik ini dua kursi diletakkan di tengah ruangan. Terapis meminta klien untuk duduk di kursi yang satu dan memainkan peran sebagai “top dog” dan kemudian pindah ke kursi lain dan menjadi “underdog” (Amarfaruq,2011). Dialog antara dua kecenderungan berlawanan memiliki sasaran meningkatkan taraf intergrasi polaritas-polaritas dan konflik-konflik yang ada pada diri seseorang ketaraf yang lebih tinggi. Dengan sasaran itu, terapis tidak bermaksud memisahkan klen dari sifat-sifat tertentu, tetapi mendorong klien agar belajar menerima dan hidup dengan polaritas-polaritas (Corey, 2003).
b)   Berkeliling
Adalah suatu latihan terapi gestalt dimana klien diminta untuk berkeliling keanggota-anggota kelompoknya dan berbicara atau melakukan sesuatu dengan setiap anggota itu. Maksud teknik ini adalah untuk menghadapi, memberanikan dan menyingkapkan diri, bereksperimen dengan tingkah laku yang baru (Amarfaruq,2011).
c)    “Saya memikul tanggung jawab”
Dalam tahap ini, terapis meminta untuk membuat suatu pernyataan dankemudian menambahkan pada pernyataan itu kalimat “dan saya bertanggungjawab untuk ini”. Teknik ini merupakan perluasan kontinum kesadaran dan dirancang untuk membantu orang agar mengakui dan menerima perasaan-perasaan alih-alih memproyeksikan perasan-peraan kepada orang lain (Amarfaruq,2011).
d)   Saya memikul suatu rahasia”
Teknik ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi perasaan-perasaan berdosadan  malu. Terapis meminta pada klien untuk berkhayal tentang suatu rahasia pribadi yang terjaga dengan baik. Membayangkan bagaimana perasaan mereka dan bagaimana orang lain bereaksi jika mereka mebuka rahasia itu (Amarfaruq,2011)


e)    Bermain proyeksi
Dalam permainan “bermain proyeksi” terapis meminta klien yang mengatakan “saya tidak bisa mempercayaimu” untuk memainkan peran sebagai orang yang tidak bisa menaruh kepercayaan guna menyingkapkan sejauh mana ketidakpercayaan itu menjadi konflik dalam dirinya(Amarfaruq, 2011))
f)    Teknik pembalikan
Teori yang melandasi teknik pembalikan adalah teori bahwa klien terjun kedalam suatu yang ditakutinya karena dianggap bisa menimbulkan kecemasan dan menjalin hubungan dengan bagian-bagian diri yang telah ditekan atau diingkarinya. Oleh karena itu, teknik ini bisa membantu para klien untuk mulai menerima atribut-atribut pribadinya yang telah dicoba diingkarinya (Amarfaruq, 2011).
g)   Permainan ulangan
Menurut Perls, banyak pemikiran kita yang merupakan pengulangan. Dalam fantasi, kita mengulang-ulang peran yang kita anggap masyarakat mengharapkan kita memainkannya. Ketika tiba saat menampilkannya, biasanya kita mengalami demam panggung atau kecemasan yakni kita takut tidak mampu memainkan peran kita itu dengan baik. Pengulangan internal menghabiskan banyak energi serga acap kali menghambat spontanitas dan kesediaan kita untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru (Amarfaruq, 2011).
h)   Permainan melebih-lebihkan
Permainan ini berhubungan dengan konsep peningkatan kesadaran atas tanda-tanda dan isyarat-isyarat halus yang dikirimkan oleh seseorang melalui bahasa tubuh, gerakan-gerakan, sikap-sikap badan, dan mimic muka bisa mengomunikasikan makna-makna yang penting. Begitupun isyarat-isyarat yang tidak lengkap. Klien diminta untuk melebih-lebihkan gerakangerakannya atau mimik muka secara berulang-ulang, yang biasanya mengitensifkan perasaan yang terpaut pada tingkah laku dan membuat makna bagian dalam lebih jelas (Amarfaruq,2011).
III.        PENUTUP
A.    Kesimpulan
Masing-masing tokoh dari psikologi Humanistik dan Eksistensial memiliki definisi berbeda-beda tentang apa yang mereka anggap sebagai ganggaun atau abnormal. Namun, yang perlu ditekankan adalh mengenai aktualisasi dan eksistensi diri. Keitka individu tidka mampu mencapainya maka belum dapat dikatakan sebagai sehat mental.
B.  Keritik Terhadap Humanistik dan Eksistensial
Para ahli teori humanistik-eksistensial tidak mengembangkan suatu teori yang luas tentang tingkah laku abnormal. Banyak perhatian mereka dipusatkan pada kecemasan umum atau depresi yang diilhami oleh orang-orang yang relatif normal tetapi mereka tidak secara sistematis berbicara mengenai gangguan-gangguan yang spesifik atau gangguan-gangguan yang lebih berat. Dalam usaha menjelaskan skizofrenia pandangan humanistik-eksistensial mengemukakan bahwa skizofrenia bukan gangguan melainkan hanya merupakan suatu bentuk alternatif penyesuaian diri dan dengan demikian orang-orang normal menderita suatu masalah karena mereka membiarkan diri mereka terlalu dibatasi oleh pengekangan-pengekangan budaya. Namun pandangan ini tidak diterima dewasa ini.



DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. (2003). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung; PT Refika Aditama.
Davidson, Gerald .C, dkk. (2004). Psikologi Abnormal Edisi Ke-9. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.
Amarfaruq. (2011). http://amarfaruqspd.blogspot.com/2011/06. Teori-terapi-gestalt.html diunduh pada tanggal 17 juni 2011.
Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial untuk psikologi dan psikiatri, Bandung: PT Refika Aditama.
Boeree, C.George, 2004. Personality Theories, google ebook download: 09/10/11
Goble, G.Frank, 2010. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisisus.
Semiun, Yustinus, 2010. Kesehatan Mental 1 &3. Yogyakarta: Kanisius.
Hall, Calvin S, 2005. Tori-Teori Holistik (Oorganismik-Fenomenologis). Yogyakarta: Kanisisus.
Schultz, Duane, 2010. Psikologi Pertumbuhan: Model-model kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisius.