Selasa, 05 Juli 2011

konsep pendidikan islam

I. Sejarah Konsep Pendidikan Islam
Masuknya Islam di Indonesia agak unik bila dibandingkan dengan masuknya Islam ke daerah-daerah lain. Keunikannya terlihat kepada proses masuknya Islam ke Indonesia yang relative berbeda dengan daerah lain. Islam masuk ke Indonesia secara damai dibawa oleh para pedagang dan mubaligh. Sedangkan Islam yang masuk ke daerah lain pada umumnya banyak lewat penaklukan, seperti masuknya Islam ke Irak, Iran (Persia), Mesir, Afrika utara sampai ke Andalusia.
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah, maka mulailah mereka membangun masjid, yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan.
Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Pendidikan Islam yang sederhana ini sangat kontras dengan pendidikan barat yang dibangun oleh pemerintah colonial Belanda pada abad ketujuh belas.
Di awal abad kedua puluh muncullah ide-ide pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Yang melatar belakangi hal ini ialah; Pertama, daya dorong dari ajaran Islam itu sendiri yang mendorong umat Islam untuk memotivasi umatnya guna melakukan pembaruan (tajdid), dan juga kondisi umat Islam Indonesia yang jauh tertinggal dalam bidang pendidikan. Kedua, daya dorong yang muncul dari para pembaru pemikir Islam yang diinspirasi dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridho, dan lain sebagainya.
Perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah meleui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke Indonesia sampai masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam awal abad kedua puluh. Periode ini ditandai dengan pendidikan Islam yang terkonsentrasi di pesantren, adayah, surau atau masjid dengan titik focus adalah ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Periode kedua, periode ini telah dimasuki ole hide-ide pembaruan pemikiran Islam pada awal abad kedua puluh. Periode ini ditandai dengan lahirnya madrasah, dan juga telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam program kurikulum, serta telah mengadopsi system pendidikan modern, seperti metode, manajerial, klasikal, dan lai sebagainya. Periode ketiga, pendidikan Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 tahun 1989) yang kemudian dilengkapi dengan beberapa Peraturan Pemerintah, dan diperkuat pula dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang baru maka jelaslah bahwa pendidikan di Indonesia telah diatur oleh satu peraturan yang telah disepakati.
Pendidikan Islam yang dimaknai sebagai mata pelajaran dan lembaga telah mendapat kedudukan dalam system pendidikan nasional. Bab-bab dan pasal-pasal serta ayat-ayat yang tercantum dalam PP 28, 29 Tahun 1990, serta PP 72, 73 Tahun 1991, PP 38, 39 Tahun 1992 dan PP 60 Tahun 1999, dan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 12, 17, 18, 20, 26, 27, 28, dan Pasal 30 telah menggambarkan betapa pendidikan Islam telah duduk dalam sistem pendidikan nasional yang dengan demikian kedudukannya adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari system Pendidikan Nasional.



II. Pengertian Konsep Pendidikan Islam
Konsep berasal dari bahasa Inggris “concept” yang berarti “ide yang mendasari sekelas sesuatu objek”,dan “gagasan atau ide umum”. Kata tersebut juga berarti gambaran yang bersifat umum atau abstrak dari sesuatu (A.S. Hornby, A.P. Cowie (Ed), 1974: 174)
Dalam kamus Bahasa Indonesia, konsep diartikan dengan gambaran mental dari objek, proses ataupun yang ada diluar bahasa yang digunakan untuk memahami hal- hal lain.
Sedangkan pengertian pendidikan menurut Mohamad Natsir adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Mohamad Natsir, 1954: 87).
Kemudian pengertian pendidikan Islam antara lain menurut Dr. Yusuf Qardawi sebagaimana dikutip Azyumardi Azra memberi pengertian pendidikan Islam yaitu pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis pahitnya (Azyumardi Azra, 2000: 5).
Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”(Muzayyin Arifin, 2003: 15).
Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.



III. Konsep Pendidikan Menurut Al Quran
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.
Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial masyarakat.

Hakikat Pendidikan dalam Al Quran
Hakekat/nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Nilai bersifat praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif didalam masyrakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu yang bersifat khayal .
Dari beberapa pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah; proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Sehingga dapat dijabarkan pada enam pokok pikiran hakekat pendidikan Islam yaitu;
1. Proses tranformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan Isla harus dilakukan secara berangsur-angsur, berjenjang dan Istiqomah, penanaman nilai/ilmu, pengarahan, pengajaran dan pembimbingan kepada anak didik dilakukan secara terencana, sistematis dan terstuktur dengan menggunakan pola, pendekatan dan metode/sistem tertentu.
2. Kecintaan kepada Ilmu pengetahuan, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan pengahayatan, pengamalan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bercirikhas Islam, dengan disandarkan kepada peran dia sebagai khalifah fil ardhi dengan pola hubungan dengan Allah (hablum min Allah), sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan dengan alam sekitas (hablum min al-alam).
3. Nilai-nilai Islam, maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam praktek pendidikan harus mengandung nilai Insaniah dan Ilahiyah. Yaitu:
a. Nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah sebanyak 99 yang tertuang dalam “al Asmaul Husna” yakni nama-nama yang indah yang sebenarnya karakter idealitas manusia yang selanjutnya disebut fitrah, inilah yang harus dikembangkan.
b. Nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah, yang selanjutnya di dialogkan pada nilai insaniah. Nilai ini merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa dan karsa manusia yang tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia.
4. Pada diri peserta didik, maksudnya pendidikan ini diberikian kepada peserta didik yang mempunyai potensi-potensi rohani. Potensi ini memmungkinkan manusia untuk dididik dan selanjutnya juga bisa mendidik.
5. Melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, tugas pokok pendidikan Islam adalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi manusia, sehingga tercipta dan terbentuklah kualitas generasi Islam yang cerdas, kreatif dan produktif.
6. Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, dengan kata lain ‘insan kamil’ yaitu manusia yang mampu mengoptimalkan potensinya dan mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, dunia dan akherat. Proses pendidikan yang telah dijalani menjadikan peserta didik bahagia dan sejahtera, berpredikat khalifah fil ardhi.
Prinsip diatas adalah pikiran idealitas pendidikan Islam terutama di Indonesia, tetapi dalam mewujudkan cita-cita tersebut banyak sekali permasalah yang telah menghambat pencapaian cita-cita tersebut malah terkadang membelokkan tujuan utama dari pendidikan Islam. Problem pendidikan Islam harus menjadi tanggung jawab bersama baik dari pendidik, pemerintah, orang tua didik dan anak didik itu sendiri, jadi kesadaran dari semua pihak sangatlah diharapkan.

IV. Prinsip- Prinsip Pendidikan Islam
Kata ‘prinsip’ adalah akar kata dari principia yang diartikan sebagai permualaan, yang dengan suatu cara tertentu melahirkan hal-hal lain, yang keberadaannya tergantung dari pemula itu’ . jadi kalau berbicara mengenai prinsip pendidikan Islam, maka pelaksanaan pendidikan ini telah digariskan oleh prinsip atau konsep dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
1. Pendidikan Islam sebagai suatu proses pengembangan diri; Manusia adalah makhluk paedagogik, yaitu makhluk Allah yang dapat dididik dan dapat mendidik. Potensi itu ada dengan adanya pemberian Allah berupa akal-pikiran, perasaan, nurani, yang akan dijalani manusia baik sebgai makhluk individu maupun sebagai makhluk yang bermasarakat. Potensi yang besar tidak akan bisa kita manfaatkan jika kita tidak berusaha untuk mengaktifkan, mengembangkan dan melatihnya. Hal itu membutuhkan sebuah proses yang akan memakan waktu, tenaga bahkan biaya, tetapi mengingat potensi yang luar biasa yang kita akan raih hal itu tidak ada artinya apa-apa. Jadi pendidikan adalah proses untuk mengembangakan potensi diri.
2. Pendidikan Islam; pendidikan yang bebas; Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikan Allah kepada manusia, kebebasan ini tentunya terikat dengan hukum syara’. Kebebasan disini berarti manusia bebas memilih prosesnya masing-masing dari prinsip ini seorang pendidik tidak bisa memaksa anak didik untuk menentukan pilihan yang harus dijalani anak didik. Pendidik hanya mengarahkan kemana potensi yang dominan yang bisa dikembangkan oleh peserta didik tersebut.
3. Pendidikan Islam penuh dengan nilai insaniah dan ilahiyah; Agama Islam adalah sumber akhlak, kedudukan akhlak sangatlah penting sebagai pelengkap dalam menjalankan fungsi kemanusiaan di bumi. Pendidikan merupakan proses pembinaan akhlak pada jiwa. Meletakkan nilai-nilai moral pada anak didik harus diutamakan. Nilai-nilai ketuhanan harus dikedepankan, pendidikan Islam haruslah memperhatikan pendidikan akhlak atau nilai dalam setiap pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi dan mengutamakan fadhilah dan sendi moral yang sempurna .
4. Prinsip Keseimbangan hidup; Dalam pendidikan Islam prinsip keseimbangan meliputi;
a. Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat
b. Keseimbangan antara kebutuhan jasmanai dan rohani
c. Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial
d. Keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal
Prinsip ini telah ditegaskan dalam al-Qur'an (Al-Qashas;77); ‘ dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan kepadamau (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jaganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…’
5. Prinsip persamaan; Kesempatan belajar dalam Islam sama antara laki-laki dan perempuan, oleh karena itu kewajiban untuk menuntut ilmu juga sama. Sistem pendidikan tidak mengenal perbedaan dan tidak membeda-bedakan latar belakang orang itu jika dia mau menuntut ilmu. Semua punya potensi yang sama untuk di didik dan punya kesempatan yang sama untuk memproses diri dalam pendidikan.
6. Prinsip seumur hidup, sepanjang masa; Pendidikan yang dianjurkan tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal umur. Seumur hidup manusia harunya terdidik, mulai dari lahir sampai ke liang lahat. Seluruh kehidupan kita digunakan sebagai proses pendidikan, sebagai proses untuk menjadi hamba yang baik, menjadi insan kamil.
7. Prinsip diri; Orang telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Sebenarnya sudah mati sebeluhm mereka hidup, sebab tidak bisa melihat dunia dengan potensi panca indranya sendiri. Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan berbekal akal, perasaan yang bisa dikembangkan. dengan inilah harkat manusia lebih tinggi di banding makhluk lainya. Atau bahkan karena akalnyapun manusia bisa unggul dari manusia satu dengan manusia lainya.

V. Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Ajaran Islam
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka; yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, penjaganya malaikat-malaikat yang besar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan_Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh_Nya.” (QS. At_Tahrim (66): 6)
Imam ‘Ali (Ali bin Abi Thalib) karamallahu wajhahu berkata, “Yakni, ajarilah mereka (anak-anakmu) dan didiklah mereka dengan akhlaq yang baik.” Hasan Al_Basri juga pernah berkata, “Didiklah mereka untuk mentaati Allah, dan ajarilah mereka tentang kebaik. ”
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi. ”
Berdasarkan ayat Alquran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta perkataan sahabat dan tabi’in di atas bahwa Islam sangat memperhatikan pendidikan. Hal itu tampak pada metode pendidikan yang diserukan kepada kedua orang tua sedini mungkin, bahkan sejak anak masih di dalam kandungan, dan lebih jauh lagi sebelum pasangan suami istri melangsungkan pernikahan. Maksudnya, Islam juga mengatur pemilihan pasangan yang baik untuk tujuan pendidikan. Seorang wanita yang shalihah akan melahirkan generasi-generasi yang shalih dan shalihah – Insya Allah – yang akan memberikan manfaat besar bagi keluarga, sekolah, masyarakat, umat dan bangsa tentunya.
Pendidikan sejak dini menempati kedudukan yang tinggi dan memperlihatkan aktivitas di rumah dan keluarga. Begitu juga di sekolah dan universitas, juga di tengah masyarakat serta umat. Pembicaran mengenai topik ini muncul pada puncak pembahasan tentang kemasyarakatan. Juga mendapatkan prioritas dalam pembahasan tentang pendidikan formal maupun non-formal. Hal itu tampak dalam poin-poin berikut ini:
Pertama, pendidikan sejak dini merupakan masa terpenting dan mendasar dalam kehidupan manusia, memegang kendali dalam masa perkembangan hidupnya dan mengawali kedewasaan, yang kira-kira terjadi sampai usianya mencapai 30 tahun. Imam An_Nawawi rahimahullah berkata, “Kata pemuda (syabba-b) itu merupakan bentuk jamak dari satu orang muda (sya-b), yang terdapat padanya hal muda (syubba-n) dan kemudahan (syabi-bab). Masa muda merupakan bagian dari kedewasaan, yang terjadi sebelum mencapai usia 30 tahun. Kata pemuda (syabba-b) menurut terminologinya berasal dari kata syabba yang berarti menjadi muda atau, meremaja, atau tumbuh. Lafazh ini mengacu pada keremajaan, kekuatan, semangat, gerak, kebaikan, peningkatan dan perkembangan. Dari lafazh itu terbentuk kata syabba-b, syubba-n, dan syabi-bah yang berarti pemuda atau muda. “
Kedua, masa muda (usia dini) adalah musim semi yang berbunga bagi kehidupan manusia, yakni saat kecil (di masa bayi) dan kanak-kanak menuju pada masa muda (remaja). Masa dicurahkan segenap pengharapan dan cita-cita yang besar serta cerah dalam masa depannya. Para pemuda merasakan sendiri masa ini. Mereka tumbuh dan merasa bahwa mereka telah matang secara sempurna serta mendapatkan tempat dalam kehidupan dan memperoleh tempat dalam masyarakat. Orang-orang dewasa dan tua memandang masa muda dengan pandangan cinta serta penghargaan. Masa yang cemerlang tapi telah berlalu (bagi mereka), seperti warisan yang telah hilang. Mereka meratapinya dan menyesali apa yang telah berlalu pada masa itu. Mereka membuat lagu dan syair tentang masa itu dan mengulang-ulang apa yang dikatakan seorang penyair: “Tidaklah masa muda akan kembali hari ini, maka kabarkanlah padanya tentang apa yang telah dilakukan orang yang telah tua itu terhadap masa mudanya. ”
Ketiga, pemuda menikmati kekuatan fisiknya, kemudaan yang hidup, keaktifan gerak dan semangatnya. Seperti juga mereka menikmati kemekaran mereka yang memberi senyum, keindahan, dan kecermelangannya pada masyarakat. Pada masa mekar itu ditanam berbagai harapan, ambisi, dan optimisme.
Keempat, pemuda merupakan persiapan hari ini untuk harapan masa datang. Mereka merupakan tiang umat, bunga bangsa, dan tabungan negara. Mereka adalah otot penggerak, dimana darah panas yang mengalir dalam tubuh pemuda mampu untuk membangkitkan kekuatan. Di atas pundaknya dibangun peradaban dan terbentuk istana masyarakat. Dengan akalnya yang brilian berkembanglah ilmu pengetahuan dan muncullah penemuan-penemuan baru. Dalam semangatnya terletak realisasi harapan yang pasti. Sejarah telah mencatat bahwa ajakan untuk perbaikan. revolusi kebebasan dan perang melawan penindasan maupun angkara murka terletak di tangan pemuda. Mereka dahulu berada pada barisan depan dengan para reformis serta da’I, bersama para Rasul dan Nabi, bergandengan tangan dengan para pemikir serta pendidik. Mereka pembawa sinar yang cemerlang, pembangun kebangkitan, pendiri pembaruan gambaran kehidupan, dan pengubah jalannya sejarah. Kemudian mereka mendirikan tonggak masyarakat, dan bergolak dalam darah pemuda jiwa revolusi.
Kelima, pemuda dikuasai oleh jiwa pemberontak, nafsu syahwat yang semangkin tumbuh, seiring dengan pertumbuhan akal dan pemikrannya di permulaan jalan atau di pertengahannya. Hal itu seperti terlihat dalam berbagai fenomena pada masa ini, yang membedakannya dari masa-masa yang lain, misalnya kebanggaan terhadap diri sendiri dan kesenangan memamerkan kelebihan yang dimiliki. Juga usaha untuk menemukan jati diri, yangmana terkadang hal itu harus dilakukan dengan berbohong dan menyombongkan diri, serta kecenderungan untuk menentang kebiasaan adat, tradisi, dan tatanan kesusilaan. Mereka berbegang pada keyakinan dan prilaku sendiri, mencoba untuk keluar dari pergerakan masyarakat yang tertib. Maka tampak pada mereka sifat suka cita, senang bercanda dan tidak memperdulikan atas konsekuensi perbuatan mereka. Mereka mengutamakan kekuatan materi daripada akal dan pikiran, atau daripada logika serta pertimbangan yang mendalam. Pada pemuda timbul sifat tidak bertanggung jawab dan memberontak, juga samasekali tidak perduli dengan berbagai persoalan atau cara memecahkannya. Mereka ditandai dengan sifat ambisius, mengorbankan dan mengingkari diri sendiri.
Berdasarkan poin-poin di ataslah, maka pendidikan secara umum dan pendidikan Islam secara khusus sangat penting sekali ditanamkan kepada anak sejak dini, demi perkembangannya pada masa yang akan datang. Tentu saja hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama terutama orang tua dalam mendidik anak-anak dalam keluarga, karena mereka (orang tua) adalah pendidik pertama dan utama bagi anak.

VI. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam
Istilah nation and charakter building adalah istilah klasik dan menjadi kosa kata hampir sepanjang sejarah modern Indonesia terutama sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Istilah ini mencuat kembali sejak tahun 2010 ketika pendidikan karakter dijadikan sebagai gerakan nasional pada puncak acara Hari Pendidikan Nasional 20 Mei 2010. Latar belakang munculnya pendidikan karakter ini dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak budi pekerti yang mulia. Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak (Oxford). Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Definisi dari “The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik.

Dasar Pendidikan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan). Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh. Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional). Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:
Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût). Ketiga, sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif). Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.

MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER PENTING?
1. Memudarnya Nasionalisme dan Jati Diri Bangsa
Nasionalisme secara umum berarti cinta tanah air, bangsa dan negara dan rela berjuang dan berkorban untuk kejayaannya. Dalam nasionalisme ada heroisme, altruisme dan patriotisme dan mengesampingkan individualisme, hedonisme dan anti sparatisme.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, jiwa nasionalisme Indonesia semakin terkikis atau semakin memudar, yang ditandai dengan berkembangnya semangat individualisme, hedonisme, terorisme dan bahkan sparatisme. Tanda-tanda kerkikisnya nasionalisme ini melanda hampir semua komponen bangsa baik muda maupun tua, rakyat biasa maupun pejabat negara termasuk kalangan anggota dewan. Bilan angkatan 45 dianggap sebagai generasi pejuang, angkatan 66 sebagai generasi pembangun, dan angkatan 98 sampai sekarang adalah generasi penikmat dan bahkan penghancur. Untuk berebut menjadi pejabat publik, anggota dewan, pegawai negeri, polisi dan bahkan TNI dari tingkat rendah sampai pejabat tinggi harus membayar dengan sejumlah uang. Setelah tercapai apa yang diinginkan, lantas dengan berbagai cara agar uang yang telah dikeluarkan segera kembali, dan menggunakan fasilitas negara, wewenang dan hak-hak istimewanya (privilege) untuk memperkaya diri, memperkuat posisi dan menciptakan hegemoni. Mereka bukan sebagai abdi negara melainkan penghianat negara, bukan pejuang melainkan pecundang.
Disamping itu masih ada fenomena terkikisnya nasionalisme yang lain yaitu munculnya sparatisme, terorisme, dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang mengingkari paham kebangsaan, cinta tanah air dan negara. Fenomena lain dari terkikisnye nasionalisme adalah enggan memakai produksi dalam negeri, baik dalam bentuk makanan, pakaian, dan teknologi
2. Merosotnya Harkat dan Martabat Bangsa
Indonesia sejatinya adalah bangsa dan negara besar: negara kepulauan terbesar di dunia, jumlah umat muslim terbesar di dunia, bangsa multi etnik dan bahasa namun bersatu, memiliki warisan sejarah yang menakjubkan dan kreatifitas anak negeri seperti batik, aneka makanan dan kerajinan yang eksotik, kekayaan serta keindahan alam yang luar biasa. Predikat sebagai bangsa dan negara yang positip itu seakan sirna karena mendapat predikat baru yang negatip seperti terkorup, bangsa yang soft nation, malas, sarang teroris, bangsa yang hilang keramah tamahannya, banyak kerusuhan, banyak bencana dan lain sebagainya.
Fenomena lain dari merosotnya harkat dan martabat bangsa adalah seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”. Bangsa Indonesia barangkali adalah negara pengekspor kuli/babu/tenaga kasar/unskill terbesar di dunia. TKI TKW kita diperlukan di negara-negara tujuan tetapi sangat tidak dihargai dan sering diperlakukan sebagai budak dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya. TKI/TKW memang dapat meningkatkan devisa negara, tetapi sesungguhnya madlorotnya lebih besar dari pada manfaatnya, termasuk merosotnya harkat dan martabat bangsa.


3. Mentalitas Bangsa yang Buruk
Indonesia memiliki modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat. Modal itu antara lain: luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang demokratis. Akan tetapi modal yang besar itu seakan tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa ini belum terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas bangsa Indonesia yang kurang kondusif atau menjadi penghambat kejayaan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju antara lain: malas, tidak disiplin, suka melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas, dan nepotisme.
Selama mental sebuah bangsa tersebut tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, meskipun bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar. Allah dalam hal ini secara tegas mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. 13:11).
Media yang paling ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan keyakinan agama. Pendidikan yang mampu merubah mentalitas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul karimah, niscaya akan menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat bagi orang alain melalui amal shalehnya.


4. Krisis multidimensional
Berbagai permasalahan menimpa Bangsa Indonesia seperti masih adanya konflik sosial di berbagai tempat, sering mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, praktek korupsi yang semakin canggih dan massif, sering terjadi perkelahian antar pelajar, pelanggaran etika dan susila yang semakin vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang cenderung menggunakan kekerasan, tindakan kejahatan yang mengancam ketenteraman dan keamanan, praktek demokrasi liberal yang ekstreem dalam berbagai aspek kehidupan sehingga bertabrakan dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang religius. Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga masih menghadapi persoalan yang serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain masih adanya sebagian umat Islam yang belum at home sebagai Bangsa Indonesia. Mereka belum sepenuhnya menerima keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bentuk negara yang final. Masih adanya sebagian umat yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam keberbedaan. Impak dari sikap itu antara lain berupa masih kuatnya eksklusifitas, maraknya gerakan-gerakan umat yang kontra produktif, seperti terorisme, garakan-gerakan bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara, berbagai bentuk pembangkangan dan bahkan perlawanan terhadap negara dan pemerintahan yang sah.
Akibat dari sikap sebagian umat Islam ini sangat luas, berangkai dan kontra produktif bagi bangsa dan negara, dan khususnya bagi umat Islam. Permasalahan yang serius juga terjadi di dunia pendidikan. Pelanggaran etika sosial dan susila serta kekerasan dalam berbagai bentuknya sering terjadi seperti: perkelaian antar pelajar, seks bebas, tindak pidana, sikap tidak etis terhadap guru, berbagai bentuk pelanggaran tata tertib sekolah, dan minimnya prestasi dan kejayaan yang dicapai para pelajar kita. Permasalahan bangsa tersebut di atas semakin diperparah dengan tayangan telivisi yang sangat vulgar, life, tidak mengenalwaktu tayang, dan diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat kabar. Peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian, perampokan, pembakaran, demo yang anarkis, tidakan aparat yang represif, perceraian, terorisme dan berbagaibentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa, sinetron, dialog dan lain-lain). Semboyan wartawan adalah “bad news is good news”. Berita baik apabila ada unsur ‘blood” dan “crowd”. Tindakan memperolok, memfitnah, menghina, mengadu domba, pembunuhan karakter justru difasilitasi oleh media.
Fenomena di atas, apabila kita renungkan akan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Prihatin terhadap kualitas generasi muda di masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang semakin rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa lain. Kita juga prihatin terhadap stigma terhadap sebagian umat Islam yang diidentikkan dengan teroris, anti intelektual dan anti peradaban.
Berbagai permasalahan tersebut diasumsikan bersumber dari krisis etika dan moral: bisa korupsi dianggap prestasi, penipuan dianggap lumrah asalkan tidak keterlaluan, hilangnya budaya malu (marwah), hilangnya keperawanan tidak lagi disesalkan, politik uang untuk membeli kekuasaan, berbudi bahasa yang santun dianggap suatu kelemahan, agama tidak lagi dipedomani sebagai akhlak melainkan sebagai alat kepentingan dan kekuasaan, dan bahasa kekerasan adalah bahasa kekuasaan dan ketertindasan. Adanya krisis etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan juga krisis etika dan moral dalam beragama lantas memunculkan pertanyaan tentang peranan dan sumbangan Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam membentuk etika dan moral. Walaupun variabel perkembangan permasalahan tersebut sesungguhnya sangat kompleks, namun seringkali secara langsung maupun tidak langsung dihubungkan dengan permasalahan pendidikan agama di sekolah. Pertanyaan seperti ini dianggap sah-sah saja karena sumber dari berbagai permasalahan tersebut adalah akibat adanya krisis etika dan moral, sedangkan tugas pokok pendidikan agama adalah membentuk anak didik memiliki moralitas dan akhlak budi pekerti yang mulia. Kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini menuntut semua pihak untuk mengambil peran masing-masing guna menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai penjaga etika dan moral masyarakat termasuk di dalamnya guru agama harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan.
Demikian juga pendidikan agama yang memiliki peran strategis harus semakin ditingkatkan mutu dan relevansinya bagi upaya pembangunan moral bangsa. Pendidikan agama di sekolah perlu direkonstruksi agar dapat memerankan tugas dan fungsinya secara efektif yaitu membangun akhlak (etika dan moral) generasi penerus bangsa. Rekonstruksi itu meliputi aspek filosofis, substantif dan metodologis.

MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM PENTING?
1. Umat Muslim merupakan Mayoritas Penduduk Indonesia
Umat Muslim Indonesia patut bersyukur karena dapat bersatu dalam jumlah yang besar dan menjadi mayoritas di negerinya. Indonesia adalah karya besar umat Muslim dan kemerdekaan Indonesia adalah rahmat Allah Yang Maha Kuasa kepada seluruh Bangsa Indonesia utamanya Umat Muslim. Pembangunan karakter bangsa pada hakekatnya adalah pembangunan karakter umat, dan kalau Bangsa Indonesia memiliki karakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang luhur, sudah barang tentu umat Muslim yang paling berkepentingan.
2. Kesenjangan antara Muslim Cita dan Muslim Fakta
Apabila umat Muslin Indonesia dapat menjadi Muslim yang baik maka jayalah Indonesia, dan sebaliknya kondisi bangsa Indonesia yang banyak mengalami krisis dan keterpurukan mencerminkan muslim Indonesia belum menjadi sebagaimana diharapkan. Bahkan dalam perspektif pembangunan bangsa, umat Muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
a. Muslim berideologi Islam politik, yaitu Muslim yang sadar politik atau mind set-nya politik dan kekuasaan, menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bertujuan mendirikan negara atau khilafah islamiah, dan biasanya bersifat radikal, tidak merasa menjadi Indonesia, sedikit kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara dan bahkan selalu merongrong kedaulatan RI;
b. Muslim mistik, yaitu Muslim yang disibukkan dengan urusan ritual keagamaan bahkan yang bersifat mistik, tidak mempersoalkan keindonesiaan tetapi juga tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan bangsa dan negara dan tidak membahayakan negara;
c. Muslim moderat, yaitu Muslim yang ideal karena memiliki prinsip keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, selalu berusaha menjadi ummatan wasathan (umat moderat), dan dimanapun berada selalu memberikan manfaat bagi lingkungannya. Ciri-ciri Muslim moderat antara lain: at home di Indonesia, mencintai, berjuang dan rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, dan memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara. Sampai sekarang ini, ketiga kelompok Muslim tersebut masih ada, bahkan Muslim politik semakin menguat pada era reformasi atau pasca Orde baru. Muslim mistik juga tetap eksis. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, pembangunan karakter harus diarahkan untuk menjadi Muslim moderat atau Muslim ideal.
3. Mengawinkan antara keislaman, keindonesiaan dan kemodernan.
Gagasan ini pertama kali dikemukakan oleh Nur Cholis Madjid pada era 70 an, dan sekarang ini dirasakan pentingnya gagasan tersebut direaktualisasi dalam konteks pembangunan karakter bangsa. Muslim Indonesia akan dapat mewujudkan rahmatan lil’alamin (merahmati semua) apabila dapat mengawinkan ketiga komponen tersebut. Dengan mengawinkan ketiga komponen tersebut seorang muslim akan memiliki tiga kesadaran: kesadaran ideal (keislaman), kesadaran tempat (keindonesiaan) dan kesadaran waktu (kemodernan). Dengan memiliki tiga kesadaran ini seorang Muslim akan memiliki kearifan, kemuliaan dan kejayaan.
4. Etika dan Moral dalam Islam
Kehadiran Islam di muka bumi adalah sebagai pedoman hidup manusia dan untuk memberikan solusi yang tegas terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian besar dari umat Islam adalah persoalan etika. Etika dan moralitas adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim. Hal ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan keagungan. Berislam yang tidak membuahkan akhlak adalah sia-sia. Menurut Raghib al-Isfahani, etika Islam berbentuk ethical individual social egoism dalam motivasi moral. Maksudnya, pengejaran perilaku moral individu tidak mesti mengorbankan perilaku moral etis sosial. Etika Islam tidak hendak memasung otoritas individu untuk sosial sebagaimana paham komutarianisme atau pengorbanan sosial untuk individu sebagaimana paham universalisme (Amril M. 200: 2ix). Etika Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar